Belajar Islam dari Seorang Atheis: Jean-Paul Sartre
![]() |
Sumber Foto: http://alhegoria.blogspot.com |
Jean-Paul Sartre adalah filsuf
kenamaan dari Prancis. Ia adalah sosok filsuf yang menekuni eksistensialisme
sebagai jalan hidupnya. Sartre, adalah filsuf yang berambisi membangun
sebuah sistem besar dari filsafat, yang pada akhirnya tidak pernah tercapai.
Ambisinya yang besar itu, banyak dianggap sebagai hal yang sia-sia.
Kegagalan yang dialami Sartre,
adalah hal yang wajar bagi kalangan filsuf. Secara pribadi, Sartre tidak pernah
memusingkan kegagalannya tersebut. Ia terus saja melalang buana dan mengikuti
kehendaknya, yang secara tidak langusng ingin menujukkan kebebasan pribadinya. Sartre
bisa sedemikian itu, karena fondasi filsafatnya sendiri adalah tentang
kebebasan. Baginya, kegagalan bukanlah hal yang mampu mengekang sebuah
kebebasan.
Sartre adalah seorang yang mengaku
dan terbukti Atheis. Hal itu terbukti dari tulisan-tulisannya yang menentang
konsep ke-Tuhan-an berdasarkan konsepnya mengenai kebebasan total. Menurut
Sartre, dengan adanya Tuhan akan membatasi eksistensi dan kebebasan dari
seseorang.
Namun anehnya, Sartre juga seorang
yang bisa disebut paling gencar dalam melawan paham anti-semitisme di Prancis. Anti-semitisme
adalah paham yang paling gencar melanda Eropa sejak abad pertengahan, sampai
menjelang perang dunia kedua. Prancis, yang hari ini kita anggap sebagai kiblat
rasionalitas, nyatanya tidak terlepas dari paham anti-semitisme waktu itu.
Sartre mengkritik keras pandangan
Hitler soal pemusanahan bangsa Yahudi. Menurutnya, hal tersebut adalah
keyakinan yang keliru. Karena, tidak ada kaitan yang jelas untuk menghubungkan
keunggulan suatu bangsa dengan pemusnahan bangsa lain.
Apa yang dilakukan oleh Sartre,
dewasa ini selaras dengan yang pernah diucapkan oleh Gus Dur; “Tidak penting
apa pun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat
semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
Perjuangan Sartre dalam membela
orang-orang Yahudi tidak terlepas dari hinaan dan cacian. Sartre dianggap
sebagai pengkhianat bagi orang-orang Prancis. Sartre juga dituduh sebagai orang
yang menodai keaslian, dan menurunkan martabat orang-orang Prancis.
Mendapat tuduhan semacam itu, Sartre
melontarkan kritik kerasnya. Menurutnya, orang-orang Prancis (dalam hal ini
orang-orang yang beragama dan menganut paham anti-semitisme) hanya dimanfaatkan
oleh kaum elit atau borjuasi. Pasalnya, orang-orang semacam itu hanya
dimanfaatkan agar eksistensi dari kaum borjuasi bisa tetap ada, tanpa pernah
mendapat keuntungan yang berarti.
Tidak sampai di situ, Sartre juga
menganalogikan orang-orang yang menganut paham anti-semitisme ini sebagai penjaga
pintu. Penjaga pintu yang dimaksud adalah, orang-orang yang ikut melanggengakan
status quo, yang selalu melanggengkan ketidakadilan kepada suatu kaum atau golongan.
Kisah seorang atheis yang membela
orang beragama seperti Sartre di atas, berbanding terbalik dengan kondisi
keberagamaan kita di Indonesia. Kita, negara yang mayoritas orang-orangnya beragama
(dalam hal ini Islam), mau diakui atau tidak, kadang masih terus melanggengkan
ketidakadilan yang harus ditanggung oleh agama lain.
Sebagai negara yang mayoritas
orang-orangnya mengaku beragama, terkadang tidak mencerminkan keberagamaannya.
Masih ada saja kita temui orang yang mengaku Islam, namun tidak toleran pada
orang yang bukan Islam, bahkan tidak jarang mencela orang-orang yang tidak
beragama (atheis). Terbukti dari betapa dengan mudahnya kita temui ujaran
kafir-mengkafirkan dalam beberapa waktu belakangan ini.
Kondisi yang seperti ini, bisa jadi
muncul karena perasaan unggul kita dari yang lain. Menurut Sartre, rasa unggul
yang semacam ini, merupakan gejala ketakutan menjadi individu yang bebas. Dalam
konteks keberagamaan kita, hal itu bisa diartikan menjadi ketakutan kita
sebagai mayoritas yang takut tersaingi oleh minoritas yang lain.
Pemahaman serta krtik Sartre, patut
untuk kita cermati. Sartre, mencoba menanyakan perihal keunggulan ini. Di mana,
jika kita merasa unggul, harus diperjelas terlebih dahulu letak unggulnya di
mana, dan unggul atas siapa?
Bukankah sudah banyak ulama yang
mengingatkan, beragama itu jangan sampai fanatik, apalagi sampai fanatik buta. Agar
tidak lagi muncul kekeliruan karena kefanatikan kita dalam beragama, alangkah
baiknya jika orientasi beragama kita diperjelas terlebih dahulu. Sesungguhnya,
orang yang fanatik buta terhadap agama, tidak lebih baik dari orang atheis.
Jumlah orang yang tidak toleran dan
merasa unggul ini memang tidak banyak. Akan tetapi, efek yang dihasilkan dari
ujaran-ujaran non-tolerannya berefek lumayan luas. Bahkan menimbulkan keresahan
bahwa kita adalah negara yang sedang mengalami konflik beragama. Lebih jauhnya
lagi, dengan masih adanya orang Islam tapi non toleran, seakan mempertanyakan
kemoderatan dari Islam yang kita anut, dan Islam yang rahmatan lil alamin itu
sendiri.
Sebagai seorang atheis, Sartre bisa
menjadi contoh bagi kita untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang di
Islam sangat dianjurkan. Selain itu, Sartre juga mampu menjadi contoh seseorang
yang mampu melampaui sekat-sekat identitas (baik suku, agama, dan pandangan
politk) dan menjadi seorang kosmopolit. Pada akhirnya, dalam masalah belajar,
tidak ada masalahnya bukan, jika kita belajar Islam justru tidak dari orang
Islam, bahkan dari seorang yang atheis.