Anarkontolisme
Saturday, February 8, 2020
Edit
Judul tulisan ini, terinspirasi dari
judul tulisan mas Reza D. Zea di blog pribadinya, yang berjudul “Anarkontol.”
Tulisan mas Reza ini, ditulis 4 tahun yang lalu. Ternyata, dalam waktu 4 tahun
kemudian, ada sebuah momentum yang mengharuskan saya menulis dengan mengadopsi
judul tulisannya mas Reza tersebut.
Tulisan mas Reza, menyoal tentang
manusia usang yang berbangga hati, karena merasa sudah menjadi manusia
seutuhnya. Perasaan berbangga hati itu, menurut mas Reza, lahir dari pengalaman
sebagai seorang aktivis. Masalahnya, aktivis yang dimaksud adalah aktivis yang
bermodal gincu, dan sering pencitraan belaka.
Selayaknya seorang aktivis,
aksi-aksi di jalanan dijadikan simbol bahwa manusia usang tadi pernah melakukan
sebuah perjuangan. Manusia usang semacam ini, adalah bukti konkret bahwa
heroisme seringkali menjadikan seorang aktivis menjadi sombong.
Bedanya dari tulisan mas Reza
tersebut, tulisan saya akan menyoal tentang kasus kekerasan seksual, yang
menjadi penyakit abadi di negara kita ini. Yang membuat saya tambah geram, oknum
yang melakukan kejahatan ini, sama sekali tidak mencerminkan identitasnya.
Sembari menyeduh kopi dan makan kacang kulit, saya persilahkan bersantai dan
nikmati banyolan dari saya ini.
Di awal tahun 2020, dan di akhir
bulan Januari kemarin, terdapat dua pemberitaan kasus kekerasan seksual yang
terjadi di daerah Jawa Timur. Satu kasus yang sebenarnya sudah terjadi dari
tahun lalu, dan satu kasus lagi yang sudah lebih lama terjadi. Sekitar tiga
tahunan yang lalu.
Dua kasus ini, punya kemiripan dalam
hal oknum pelakunya dan letak kejadian. Dua kasus kekerasan seksual ini,
sama-sama terjadi di pondok pesantren. Tempat yang seharusnya jauh dari hal-hal
semacam itu. Namun, sebaik-baiknya pesantren, memang tidak menutup kemungkinan
bahwa kejahatan semacam ini juga bisa terjadi di sana.
Kasus pertama datang dari daerah
Jombang. Pelakunya adalah seorang anak kiai terpandang di daerah itu. Kasus ini
sudah dilaporkan sejak Oktober tahun lalu. Namun, perkembangannya sampai hari
ini masih belum jelas. Korban belum mendapat perlindungan dan
pertanggungjawaban yang sesuai. Sedangkan pelaku masih bebas dan bisa
bersantai, sembari menunggu calon korban selanjutnya.
Kasus kedua, datang dari wilayah
Kediri. Oknum pelakunya lebih wah dari yang pertama: seorang pimpinan pondok
pesantren. Aksi kejahatannya ini sudah dilakukan kepada korban sejak 3 tahun
lalu, sewaktu korbannya masih duduk di kelas 3 SD.
Melihat dua kasus ini, seakan
mengkonfirmasi kepada kita semua, bahwa kejahatan bisa dilakukan oleh siapa
saja. Tidak memandang identitas dan latar belakangnya.
Tentu kita sangat menyayangkan kasus
yang mencoreng nama baik pesantren ini. Tidak hanya karena menyangkut institusi
yang dibawa oleh pelakunya, namun juga kepada korban kekerasan seksual yang
terus bertambah.
Dengan terumbarnya dua kasus ini ke
hadapan publik, apa langkah serius kita untuk mengantisipasi agar kasus
kekerasan seksual tidak terjadi lagi? Jawabannya, tidak ada! Kita masih saja
bersantai, dan menganggap bahwa kasus semacam ini adalah hal yang biasa. Toh
pun, kalau pelakunya seorang yang dianggap alim serta saleh, kita hanya bisa
menyebut kalau itu adalah perbuatan khilaf.
Dari sisi viralnya, kasus yang
terjadi di Jombang lebih menjadi sorotan publik. Entah karena apa sebabnya.
Namun, kasus yang terjadi di Kediri juga tidak bisa kita anggap sebagai hal
yang sepele. Dua kasus ini adalah sama, kasus yang mencoreng nama kemanusiaan,
dan lebih mirip jika kita menyebut, kasus ini adalah kasus kebinatangan.
Kenapa bisa saya sebut sebagai kasus
kebinatangan? Pasalnya, korban dari si pelaku masih ada yang dibawah umur.
Manusia, untuk menyalurkan hasratnya, biasanya juga akan memilih bagaimana
hasrat tersebut bisa disalurkan. Lain halnya dengan binatang. Biasanya, binatang
tidak akan pandang umur lawan jenisnya, jika ingin melakukan kegiatan untuk
menyalurkan hasratnya.
Apa yang dilakukan oleh dua oknum di
atas, sama-sama menyebalkan dan masih saja ada dalih pembelaan terhadapnya.
Baik itu dari pihak yang mendukung pelaku, dan media kita yang masih saja tidak
sepenuhnya adil terhadap korban.
Sebagai sesama lelaki (bagi para
lelaki lainnya), tentu sangat paham soal hasrat kelelakiannya. Dengan alat
kelamin berupa kontol, mayoritas lelaki akan merasa lebih superior ketimbang perempuan.
Alam pikiran lelaki kebanyakan masih seperti itu. Bahkan, tidak jarang
perempuan kita anggap sebagai makhluk yang harus menuruti kemauan kita.
Bukan hal yang aneh, jika identitas
lelaki terus dikategorikan sebagai simbol kekuatan. Memang sudah seharusnya,
jika lelaki merasa lebih superior, takdir lelaki adalah melindungi perempuan.
Bukan malah mengancamnya, dan melakukan pemaksaan yang ujungnya adalah tindakan
kekerasan.
Mari kita akui saja, tidak ada yang
lebih baik karena identitasnya. Sama halnya dengan oknum kekerasan yang dibela
oleh pendukungnya. Statusmu tidak akan berharga jika tidak mencerminkan sikap,
perilaku, dan adabmu pada orang lain. Setinggi apa pun derajat atau strata
sosialmu, tidak lebih karena itu adalah sebuah warisan. Kecuali, jika terbukti
perbuatan baik yang pernah kau lakukan.
Hai para pemilik kontol sedunia,
segera lah sadar. Tidak ada lagi yang perlu jadi korban selanjutnya dari
kontolmu. Coba untuk mulai menekan
hasrat seksualmu itu. Karena itu sejatinya adalah sebuah keinginan. Di mana
pun, keinginan bisa ditekan dan dikendalikan. Tidak terkecuali hasrat seksual
dari kontolmu yang ngacengan itu!