Namanya Siti
Monday, January 27, 2020
Edit
![]() |
Sumber: nggalek.co |
Terakhir
aku bertemu dengannya Dua Tahun lalu, seorang perempuan dengan paras
memikat serta halus suaranya. Sikap dan perlakuannya begitu lembut dan
mempesona.
Usianya
sekitar delapan belas tahun. Dia bilang, dulunya ia hanya gadis kampung
yang setiap pagi pergi ke sawah membantu sang bapak, tidak ada kesempatan
baginya untuk mengenyam bangku sekolah
“Di
kampung saya sekolah itu bukan barang murah tuan, saya cuma anak petani miskin,
bisa makan sehari sekali saja sudah syukur “ ungkapnya.
Seringkali
Siti meringik dalam hati, ingin sekolah seperti teman-teman sebayanya, namun
keinginannya itu sering ia pendam dalam-dalam, ia sadar betul keinginannya
hanya akan membuat ibu dan bapaknya semakin merasa tak berguna. Namun siti tak
pernah sekalipun mengutuk nasibnya yang terlahir dari orang tua miskin ataupun
meminta bantuan pada orang-orang kaya di kampungnya. Malu, bukan alasannya ,
tapi pantang baginya meminta-minta.
Nasibnya
yang miskin jualah yang menghantarkannya ke tempat ini, tempat di mana manusia dianggap
nista oleh manusia lainnya, dari mereka yang beranggapan Tuhan juga ikut
mengutuk manusia-manusia di tempat ini.
“Mari,
silakan tuan” itu kalimat pertama yang ia ucapkan sebagai tanda awal
pertemuanku dengannya.
Ia
meraih tangganku lalu menuntunku ke dalam kamar. Ku kira ia akan sama dengan perempuan
lainnya di komplek ini; mengajak setiap laki-laki yang lewat
atau biasa mereka sebut tamu, kemudian melakukan tawar menawar
harga untuk sekali pelayanan.
Tingkahnya
juga tidak terlalu berlebihan, ia duduk membelakangiku tanpa banyak
pertanyaan ia lontarkan. Aku bisa melihat rambutnya yang menjuntai
lurus serta pantulan mata polosnya dari cermin, yang barangkali merasa lelah.Suasana
terhening begitu saja. Hanya tadi di depan kamar saja bibirnya berucap. Aku pun
bukan tipikal orang yang mudah membuka obrolan, tapi keheningan lebih tidak
kusukai lagi
“Siapa
namanya?” tanyaku memberanikan diri.
“Siti,
Tuan.” Ia baru merubah arah duduknya menghadap wajahku dengan kepala sedikit
menunduk. Setiap laki-laki yang datang ke tempat ini tak punya niatan lain
selain melampiaskan dorongan hasrat mereka melalui penjaja seks. Mungkin itu
juga yang hinggap dipikiran Siti saat menjawab pertanyaanku, hingga ia enggan
tegakkan kepalanya. Sepertinya ia lebih tertutup daripada diriku. Sekarang ia
hanya diam.
Ku
sodorkan sebungkus rokok dari sakuku, biasanya orang lebih mudah terbuka
saat merokok, walaupun sebenarnya aku tahu umumnya itu hanya dilakukan
laki-laki. Namun, ternyata Siti dengan agak sungkan mengambil sebatang rokok
yang kusodorkan.
‘’Oh
korek, sebentar’’ kurogoh saku kiriku, segera kupantik dan kuarahkan ke rokok
ditangannya, ia tarik pelan rokok diapitan jarinya.
‘’Erkhh..ekhhh,
maaf Tuan.’’
‘’Mbak,
kalau tidak biasa merokok jangan dipaksakan’’
‘’Tuan,
saya tidak tahu harus memulainya dari mana?’’
‘’Maksudmu?’’
‘’Maaf,
Tuan, saya orang baru’’
Oh,
sialan sekarang aku dibuat merasa bersalah. Ia pasti menyangka aku ingin segera
tidur dengannya.
‘’Orang
baru? Memangnya sudah berapa lama kamu disini?’’ Dua pertanyaan
kulontarkan sekaligus, jujur saja aku heran dengannya, bagaimana ia bisa berada
di tempat ini tanpa tahu apa yang ia harus lakukan.
‘’
Saya baru Seminggu Tuan’’
‘’Lantas
bagaimana dengan setiap laki-laki yang datang kemari? Atau kamu?’’
‘’Tuan
tamu pertama saya’’
‘’Jadi
kamu belum pernah?’’
‘’Belum
tuan, saya belum pernah tidur dengan seorang tamu pun,’’ Ucapnya dengan kepala
semakin menunduk.
“Lalu
bagaimana bisa kamu berada ditempat ini?’’
“Apakah
tuan marah? Maaf uan , saya takut.” Suaranya mulai terdengar berubah,
isak tangis keluar dari kerongkongannya.
‘’Mengapa
saya harus marah, dan takut, apa yang kamu takutkan?’’
Tiba-tiba
ia berdiri” sebaiknya tuan segera pergi ‘’ seraya mendorongku ke arah pintu.
“Baik,
saya bisa keluar sendiri.” Kutepis tanggannya yang mendorong pundakku.
Setelah
itu aku tidak pernah datang ke tempat itu lagi. Pun itu terakhir kali aku
bertemu dengan Siti. Walaupun masih ada rasa penasaran yang ku tujukan padanya.
Hingga seminggu setelah itu aku tahu mengapa ia bersikeras mengusirku dari
tempatnya.
***
Suatu
pagi seseorang mengetuk pintu rumahku, sebelum kubuka pintu depan, kusingkap
tirai jendela depan rumahku untuk melihat orang yang mengetuk pintu. Ternyata
seorang perempuan dengan pakaian berwarna merah serta kerudung putih yang tak
ia lingkarkan hanya dibiarkan menjuntai. Kubuka pintu rumahku, lalu.
“Mas
Indra?” Perempuan itu menatapku lurus, dan tanpa basa-basi segera ku jawab.
“Iya
betul”
“Bisa
ngobrol sebentar mas?” Nampaknya perempuan itu mempunyai bahasan penting. Tapi
aku tak mengenalnya, aneh sekali ia mengajakku ngobrol.
“Oh
tentu, silakan masuk” kupersialahkan ia masuk, tidak enak juga kalau
membiarkannya hanya berdiri di depan pintu.
“Silakan
duduk.” Perempuan itu mengernyitkankan dahinya, kemudian sedikit tersenyum.
“Sebelumnya,
maaf, mas, pagi-pagi menganggu.”
“Oh
tidak apa-apa.”
“Eh..ini
mas.” Perempuan itu mengulurkan sebuah kantong kresek berwarna hitam.
“Apa
ini mbak?” Tanyaku.
“Eh..dibuka
saja mas.”
Kubuka
kresek itu, ternyata.
“Lho,
kok bisa. Ini kan dompet saya”
“Iya,
mas, seseorang berpesan pada saya untuk mengembalikan dompet itu.Ini mas, dia
juga menitipkan ini.” Perempuan itu menjulurkan sebuah amplop berwarna coklat.
“Dari
siapa?” Aku semakin heran. Pertama dompetku yang hilang ada padanya, lalu
sebuah amplop.
“Dibaca
saja mas,’’ Ujarnya. Ku buka amplop berwarna coklat itu.
Untuk
tuan penolongku.
Tuan
yang dengan penuh ketulusan, yang belum sempat saya tahu nama tuan.
Sudah
lama saya ingin mengucapkan terima kasih pada tuan. Mungkin saat membaca
surat ini tuan akan keheranan dan bertanya, berterima kasih untuk apa? kalau
Tuan ingat perempuan yang pada suatu malam tuan pernah temui, itulah
saya. Dan ingatkah tuan, itu bukan pertama kali kita bertemu. Dua
Minggu, sebelum Tuan bertemu dengan saya di tempat di mana saya meminta tuan
untuk pergi, kita pernah bertemu di Stasiun Kota.
Saat
itu saya baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat yang teramat jauh dari
kampung halaman saya. Saya, yang dalam keadaan lapar tanpa uang sepeserpun
ditangan, berjam-jam duduk di stasiun, tanpa tahu harus kemana lagi. Maklum
tuan, saya hanya orang kampung, miskin ,bodoh pula. Hal yang bisa dilakukan
orang macam saya yang miskin dan bodoh ini hanya nekat semata, mungkin itu
satu-satunya alasan yang saya punya, hingga saya bisa melangkah tanpa tahu
arah.
Namun, saat
itu Tuan hadir, tanpa Tuan tahu siapa Saya, Tuan menawarkan saya makanan.
Sejujurnya, Saya sangat malu menerima pemberian Tuan, tapi makanan merupakan
suatu yang berharga ketimbang emas bagi seseorang yang sedang kelaparan.
Sejak
tuan menolong Saya, ketika itu juga Saya meyakini masih banyak orang baik di
dunia ini yang perduli terhadap manusia lainnya. Apalagi di
perkotaan, Saya kira orang kota semuanya hidup tanpa kepedulian,
ternyata Saya salah, dan dari sanalah keyakinan Saya untuk mengadu nasib di
kota semakin besar, sikap dan pertolongan Tuanlah yang membuat itu.
Saya
menyesal atas sikap saya malam itu telah mengusir Tuan. Tapi, percayalah Tuan
itu demi kebaikan Tuan, sedikitpun tidak terbersit dalam benak saya, bahwa
Tuan akan memperlakukan saya, sebagaimana setiap laki-laki yang datang ke
komplek malam itu, yang hanya menilai perempuan dengan uang demi melampiaskan
birahinya semata.
saya
meyakini Tuan adalah orang baik, dan ternyata, benar saja setelah saya tanyakan
pada ibu pemilik kamar, ia mengatakan bahwa tuan hanya seorang mahasiswa yang
sedang mencari informasi tentang kehidupan para PSK.
Dan
kalau memang benar itu niatan awal tuan datang ke komplek malam itu. Dengan
senang hati saya bersedia memberikan informasi tentang kehidupan saya.
Nama
saya Siti, usia saya delapan belas tahun. Saya lahir dari keluarga petani
miskin dengan Tiga anak. Setiap pagi saya ikut ke sawah dengan ambu
dan abah, begitupun dengan Kedua adik saya. Walaupun, sebenarnya saya tahu
mengapa ambu dan abah sering mengajak kami ke sawah, itu mereka lakukan agar
saya dan adik-adik saya, tidak melihat saat teman-teman seusia kami pergi ke
sekolah.
Tuan
bisa bayangkan kalau itu terjadi, saya dan adik-adik saya bisa merengek-rengek minta
buat disekolahkan. Mungkin tuan akan berpikir, apa salahnya minta untuk
disekolahkan? Tentu tidak salah tuan, tapi, dikampung saya, sekolah itu
bukan barang murah, saya cuma anak petani miskin, bisa makan sehari sekali saja
sudah syukur.
Sekalipun
saya ingin, saya sadar betul akan diri saya, dan jalan terbaik adalah
mengubur dalam-dalam mimpi saya itu.
Kala
sore tiba merupakan waktu yang saya tunggu-tunggu, di mana saat itulah saya
baru bisa merasakan menyenangkannya belajar, itupun hanya pelajaran agama yang
bisa saya dapatkan, tapi tak jarang saya meminta pada guru ngaji untuk
diajarkan membaca dan menulis huruf latin, dan tidak mungkin saya merengek
minta diajarkan pada orang tua saya, karena mereka buta huruf.
Pernah
suatu kali saya memberanikan diri bertanya pada ambu, mengapa tidak meminjam
uang padat tuan pembesar di kampung saja, untuk sekedar modal usaha,
ambu hanya berkata:
“Jangan
kau sekali-kali meminta bantuan pada mereka, sebagaimanapun keadaan kita, kita
masih punya Tuhan untuk tempat meminta. Lagipula kerugian besar bagi siapapun
yang meminta bantuan pada mereka, kau tahu Siti, mereka akan sangat merasa
diuntungkan bukan hanya karena bunga yang mereka kenakan atas setiap uang yang
mereka pinjamkan. Bukan itu saja alasannya, kalau mereka menadapati seseorang
yang meminjam uang, dengan mudah mereka mengambil segalanya. Orang-orang
dengan watak penghisap seperti mereka hanya senang memperbudak
manusia lainnya. Bunga sengaja mereka kenakan, kau tahu agar apa? Agar kita
ketergantungan dengan mereka. Ketergantungan itu yang nanti mereka jadikan alat
untuk mengikat kita, memperbudak kita seperti binatang.”
Ketika
malam itu, tuan sempat bertanya, bagaimana saya bisa sampai ditempat macam itu.
Seperti
yang sudah saya tulis di awal, saya hanya punya Satu alasan, yaitu nekat.
Beberapa tetangga pernah saya dengar, mereka membicarakan pengalaman mereka
mengadu nasib di kota.
Saya
yang bodoh ini tanpa berpikir dua kali, memberanikan diri, dengan harapan bisa
menemukan tempat bagi saya untuk mengadu nasib seperti yang tetangga saya
bilang. Namun, ketidaktahuan saya tentang kota menggiring saya ke tempat
pelacuran. Seorang perempuan tua yang merasa iba melihat saya layaknya
gelandangan di trotoar jalan, mengajak saya untuk tinggal sementara waktu
ditempatnya.
Sampai
saya tahu ternyata perempuan itu banyak mempekerjakan perempuan seperti saya
ditempatnya. Tapi sedikitpun saya tidak punya niatan untuk berontak. Karena
ternyata di tempat macam itu saya bisa menemukan mereka, ya, mereka sesama
orang miskin yang tidak punya kemampuan lebih. Tapi, tuan, percayalah,
meskipun banyak orang memandang hina tempat itu bahkan dengan mengunakan
dalil-dalil Tuhan sekalipun, justru merekalah yang buta tidak mampu melihat
hadirnya kasih sayang Tuhan di tempat kami.
Bisa
saja mereka yang merasa suci akan dirinya, memandang perempuan di tempat
pelacuran, suka akan aktivitas yang dilakukannya. Tidak tuan, sedikitpun tidak,
meski saya hanya baru beberapa hari dengan mereka, saya bisa merasakan jerit
batin mereka, mana ada perempuan yang dengan rela begitu saja menjual dirinya,
melayani setiap lelaki yang datang.
Saya
temukan beberapa dari mereka adalah janda yang ditinggal pergi suaminya entah
kemana, mereka menangis kala beranjak dari kamar, mereka menginsyafi akan
perbuatannya itu penuh dosa. Namun mereka lebih merasa berdosa kalau tidak bisa
memberi makan anak-anaknya.
Siti.
***
“Ambu,
maaf, aku tidak terlebih dahulu meminta restumu. Bukan berarti aku tidak
mengormatimu atau tidak mau mendengarkan kata-katamu lagi.”
Biar
derap langkah kakiku yang menuntunku pergi. Ternyata inilah wajah perkotaan
yang disebut-sebut tetangga dikampung, ramai sekali. Ku lihat arah
kanan-kiriku, semua orang berjalan dengan cepat, mungkin mereka semua harus
mengejar waktu agar tak terlambat masuk kerja.
“Boleh
numpang duduk mbak”
“Oh,
silakan.” Seorang laki-laki muda berperawakan tinggi duduk disebelah kananku. Setelah
kupersilakan, ia hanya memandang lurus ke arah rel kereta. Ku geser sedikit tas
yang ku bawa dari rumah, ku rangkul dengan erat walaupun tidak ada barang
berharga didalamnya.
"Baru
turun, atau mau naik Mbak?” Tiba-tiba ia bertanya padaku.
"Eh,
baru turun Mas,” jawabku.
"Dari
jam berapa mbak?”
"Baru
saja, jam enam"
"Sekarang
sudah jam sebelas lho mbak, tuh.” Telunjuknya
menunjuk sebuah jam besar di dinding stasiun.
"Mbaknya
sudah makan?’’ Lanjutnya.
"Sudah,
sudah.." jawabku segera. Tapi mata laki-laki muda itu malah menatapku,
seperti curiga akan suatu hal.
"Kebetulan
saya tadi beli dua bungkus, sayangnya saya keburu kenyang.” Ia menyodorkan sebungkus
nasi padaku.
"Tapi.."
"Duh.."
Reflek ia melihat jam tangannya “mbak
saya duluan.” Ia beranjak dari posisi duduknya, berlari ke arah luar stasiun.
Ku lihat bekas tempat duduknya.
"Tuan,
dompetnya ketinggalan.."
***
"Jadi,
ia perempuan di stasiun itu"
"Iya
mas. Setelah malam itu mas pergi dari tempat saya, Siti menanyai saya tentang mas.
Lalu meminta saya untuk menyampaikan amplop berisi surat itu.”
"Kalau
saya boleh tahu, sebenarnya darimana asal Siti?"
"Ia
pernah bercerita pada saya, ia berasal dari Subang"
"Eh..
mbak, bagaimana kalau sekarang saya menemuinya? Setidaknya saya juga harus
berterima kasih atas dompet saya yang telah kembali"
"Tidak
bisa mas"
"Lho,
kenapa mbak? Apa saya tidak boleh bertemu dengannya?"
"Bukan,
bukan begitu maksud saya mas. Tapi.., Siti sudah meninggal"
"Meninggal..!’’