Cerita yang Selalu Awet: John Lennon
Friday, January 24, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: pngimage.net |
Penulis: Rasuna Said
Di pucuk September 1970, album itu mulai
dipitakasetkan. Ini akan jadi album pasca Beatles pertama baginya. Setahun
sebelumnya, John telah bercerai dengan band lamanya, band paling hebat di
zamannya, atau mungkin band terkuat sepanjang masa.
John telah memutuskan melanjutkan kiprah musik sendirian, tidak benar-benar sendiri
sebetulnya, Yoko Ono berdiri bersamanya. "John Lennon atau Plastic Ono
Band" nama yang diberikan kepada album 11 tembang, yang rilis bulan
Desember.
Banyak yang menanyakan apa bagusnya Ono, hingga turut
ditulis sepenting nama John. Kelak, sepeninggal John, Ono terbukti memang bukan
siapa-siapa. Ia lebih dikenang sebagai bekas kekasih sesosok dewa, ketimbang
menjadi dewi dari dirinya sendiri.
Album John Lennon atau Plastic Ono Band, dibuka dengan
lagu "Mother". Liriknya
dialamatkan ke Alf, yang
meninggalkan keluarga saat John
bayi. Juga kepada Julia yang tak tinggal bersamanya. Alf dan Julia tak lain
ayah dan ibu John.
Di lagu ketujuh ada "Love". John selalu
punya cara menulis lirik yang tak biasa. Cinta kerap ditulis secara berlebihan,
namun John membuatnya menjadi bersahaja dan ringkas, tanpa luntur bobot
rasanya.
Di album juga tersemat
"Working Class Hero". Lagu tentang politik, yang khusus menyorot
kehidupan klas pekerja. Pada wawancara dengan majalah Rolling Stone, John
bilang, ini tentang kehidupan kelas pekerja yang diproses menjadi "kelas
menengah".
John tak lupa menunjukkan identitas a-religius-nya.
"God" menunjuk terang-terang perihal kosongnya agama. Bila di Beatles
John pernah bilang 'Beatles lebih populer dari Yesus', di lagu ini, John
menegaskan tak ada agama yang patut dianut.
Tuhan hanyalah konsep belaka, demi mengukur derita
manusia, demikian ujar lirik pembukanya. Album ini kelak oleh majalah Rolling
Stones di tahun 2012, diganjar peringkat 23 dalam "The 500 Greatest Albums
of All Time".
Seperti Shankly, John sungguh sosok yang baka di
kotanya, Liverpool. Bakat, keterusterangan, kompleksitas, pemberontak, dan
terutama dia adalah jenius musik yang mungkin belum ada duanya. John punya
semua, satu hal yang tak dipunya John: umur panjang.
Memang begitulah John. Lelaki yang tak pernah akur
dengan agama dan kekuasaan. Seorang penista bagi keduanya. Yang menggunakan
popularitas dan talenta seni untuk kampanye yang diinginkan. Mengerti benar
bahwa mulutnya benar-benar disimak.
John mengutuk kolonialisme Inggris dalam "The
Luck of The Irish". Kritik pedas pada misoginisme dalam "Women is The
Nigger of The World". Dan mungkin yang paling dikenal adalah tembang
universal bertajuk "Imagine". Bagi sebagian liyan, ini lagu
perdamaian, padahal bukan.
Ini merupakan lagu nomor 3 dari "The 500 Greatest
Songs of All Time". Seorang jurnalis majalah New Musical Express diutus
pergi demi menanyakan arti lagu ini, dan John memberi jawaban,
"...lagu ini hampir menyerupai bentuk
ringkas dari Manifesto Komunis, meskipun aku ini tidak terlalu komunis dan aku
tidak menjadi bagian dari gerakan politik manapun."
Di lain kesempatan, -masih tentang lagu tersebut-,
Geoffrey Giuliano dalam bukunya, merujuk pengakuan yang keluar langsung dari si
empunya karya, menulis,
"...sebuah lagu yang mendeklarasikan anti theis,
anti nasionalistik, anti konvensional dan anti kapitalisme. Tetapi karena
liriknya diperhalus, lagu ini dapat diterima."
John adalah politik yang berdendang. Aktivis anti
perang Vietnam yang getol. Dia yang membuat pemerintahan Nixon muak dan
berusaha mengusirnya. John rela merogoh
kantong dalam-dalam demi memasang tulisan "War is Over" pada billboard di 15 kota.
Aktivitas politiknya lantas tahun makin bergerak jauh
ke tepi kiri. Teleponnya disadap. Dikuntit FBI. Dia berhubungan dengan Black
Panther Party.
Menurut laporan pengawasan FBI, dan dikonfirmasi oleh
Tariq Ali pada 2006, Lennon bersimpati kepada International Marxis Group.
Bagi saya sendiri, John Lennon ialah sosok yang
mula-mula mengajari saya menulis, lewat lirik-liriknya. Jauh sebelum pusparagam
karya sastra membuat saya jatuh hati, John lah yang membuat yakin, menulis
merupakan cara terbaik manusia meraih satu bagian jiwanya, bagian terbesar
harus direbut lewat berjuang.
John mati dengan cara yang tak kalah sastrawi. David
Chapman mulanya penggemar Beatles.
Belakangan, sebelum menembak John, David memutuskan menjadi seorang Kristen
garis keras. Dia adalah sosok pemuda hijrah.
Sama seperti remaja-remaja di negara kapitalis macam
Amerika atau Inggris, yang dulu menggemari pernak-pernik kehidupan modern,
kemudian tiba-tiba berbalik arah mengikut sabda kudus. Lalu membenci dunia yang
penuh dosa, sehingga perlu disucikan.
Usai menghabisi John dengan revolver Colt 38 special,
alih-alih pergi, Chapman malah berdiri di tubuh bersimbah darah itu sembari
membaca, "The Catcher in The Rye" karya J.D Salinger. Dia
menikmati paragraf kesukaannya di atas mayat
musisi terbesar yang pernah lahir.
Ketika berita kematian John menyebar, majalah Time,
salah satu publisitas terpenting di Paman Sam memasang gambar John Lennon di
sampul depan dengan judul tunggal, "When The Music Died". Itu adalah
hari John terbunuh dan musik ikut mati bersamanya.
****
Note: Pernah dimuat di buruh.co