M E T A M O R F O S A

  • Beranda
    • BOLA
    • BUKU
    • CERPEN
    • FILM
    • MUSIK
    • NODUS
    • PUISI
    • RILEKS
    • TRANSLASI
  • CREW
  • Kontak
  • KIRIM TULISAN
  • Sitemap
  • Disclaimers
  • TENTANG KAMI
Beranda
musik

Bapa Jana: Maestro Tarling Cirebon

Bapa Jana: Maestro Tarling Cirebon

Penulis: Algo YP


Perlahan namanya mulai dikenal khalayak. Media massa pun mulai melirik dia sebagai objek yang menarik untuk dikulik kehidupannya. Mulai dari surat kabar lokal hingga nasional, mulai mengangkat dia dari berbagai sudut pandang. Hujan pujian sebentar deras sebentar reda, sosoknya timbul tenggelam dalam ingatan, dan tidak terkecuali secuil omong kosong coretan ini. 


Jika Robert Johnson menjual jiwanya pada setan, dan mampu menjadi legenda yang memperkenalkan keindahan delta blues lewat teknik gitarya, lain halnya dengan pria yang akrab disapa Bapa Jana. Bapa jana tidak pernah menjual apapun dan pada siapapun, sebab yang dia mengerti, bermain gitar itu bagian dari menyenangkan diri, dan orang-orang di sekelilingnya.


Bapa Jana tak pandai bicara, kecuali pada kayu beresonan yang selama ini menemani lembar demi lembar sejarah kehidupannya. Terlahir di awal tahun 1940an, dari seorang ibu yang mahir bermacapat dan ayah yang lihai berpencak silat, Bapa Jana justru memilih gitar sebagai hal yang ia tekuni.


Kegemarannya melihat sang nenek yang gandrung bermain kecapi, tanpa disadari telah membawa minatnya pada bebunyian. Bermodal melihat dan mendengarkan, Jana kecil mulai menekuni gitar sebagai hobi barunya. 


Pekalangan, sebuah wilayah di pesisir utara Kota Cirebon, menjadi saksi bagaimana Jana kecil tumbuh dan belajar ihwal kesenian daerah. Mulanya, sang kakak dan seorang warga keturunan bernama Bapa Barang yang mengenalkannya pada musik daerah, yang biasa dikenal dengan sebutan tarling (gitar suling).


Tarling sendiri bagian dari musik rakyat, yang membunyikan suara dan keluh kesah masyarakat pesisiran melalui instrumen gitar dan suling. Seperti yang dituturkan Bapa Jana: "Para nayaga mencoba melepas lelah dan mengekspresikan kepenatan mereka dengan memainkan sebuah alat musik bernama gitar." Mentransformasi bunyi gamelan ke dalam petikan gitar dan siulan suling bambu. Bebunyian ini tumbuh menciptakan identitasnya sendiri. Merentang dari Indramayu, Cirebon hingga Tegal, Pemalang dan Pekalongan.


Seiring berjalannya waktu, dimensi tarling berkembang baik dari segi teknis mapun formal. Secara teknis penambahan instrumen gendang, kecrek, sampai bunyi sendok pernah mengiringi dan menjadi bagian pementasan tarling.


Sedangkan dari sisi formalnya, tarling yang pada awalnya hanya parade instrument yang dibunyikan, kemudian mewujud dalam tembang-tembang bersyair, hingga ke pementasan lakon-lakon sandiwara, yang kaya akan pesan moral dan gelak tawa.


Seorang penembang tarling kala itu, di samping harus piawai melantunkan syair, namun juga dituntut untuk sanggup memainkan intrumen gitar dan mampu membawa alur grup tarling saat pementasan berlangsung. Piawai dalam mendendangkan lirik yang penuh akan spontanitas: keresahan pribadi, lelucon harian hingga sindiran-sindiran terkait kondisi sosial yang ada. Dalam hal ini, menurut saya, tarling tak jauh berbeda dengan delta blues yang dilahirkan budak kulit hitam di Amerika.


Sinden pelopor seperti Jayana, Dariah, Hingga Kang Ato dan Adul Ajib akhirnya menjadi ikon tersendiri di dunia tarling. Bintang panggung yang selalu ditunggu penampilannya. Konon legak-legok tarling yang bersifat naik turun, tak sembarang orang memiliki kemampuan tersebut.


Kini, sudah lebih dari setengah abad kesenian ini mencoba bertahan. Pementasan tarling yang digelar dari hajatan ke hajatan, mengamen dari pasar ke pasar,  membuat kesenian musik ini seperti air yang mampu mengisi segala ruang.


Kala konflik seni sebagai panglima, dan seni untuk seni tengah berkobar, beberapa sahabat memutuskan mengikuti arus dengan berada di pihak-pihak yang sesuai menurut mereka. Masih jelas dalam ingatan Bapa Jana, bagaimana sang istri seringkali mengomel kesal karena Bapa Jana tidak seperti sejawatnya, yang dekat dengan para pejabat di kota Cirebon.



Alasannya, menurut sang istri, mengepulnya asap dapur tak lagi menjadi persoalan, andai saja Bapa Jana menjalin kedekatan dengan para pejabat pemerintahan. Namun Bapa Jana lebih memilih menjadi kuli bangunan, menarik becak, atau menjadi penjaga dok di pelabuhan daripada menjadikan tarling sebagai cara mensiasati permasalahan pedaringan.


Keteguhan Bapa Jana menyikapi tarling, tidak serta merta membuatnya menjauh dari rekan sejawat. Meskipun seniman tersebut berada di pihak sana ataupun sini. Baginya, berkumpul dan bermain tarling bersama justru hal yang lebih indah, ketimbang harus meributkan perbedaan pandangan politik.


Bapa Jana mungkin bukan siapa-siapa, dan hanya bagian kecil dalam dunia tarling. Namun paling tidak, beliau merupakan saksi dan pelaku yang telah menyaksikan bagaimana kesenian ini tumbuh menjalar di pembuluh darahnya.


Di usianya yang memasuki kepala delapan, Bapa Jana lebih memilih rumah sebagai ruang yang meredam berbagai kebisingan dan omong kosong di sana-sini. Sebuah rumah kayu bambu khas Sumedang, yang konon sengaja dia bawa langsung dari kampung halaman sang istri tercinta di sumedang.


Tak perlu mengambil kesimpulan terlalu jauh terkait rumah bambu tersebut. Sebab seniman seleranya unik-lah. Atau cita rasa seniman pastinya artistik-lah. Bapa Jana jauh dari semua kerumitan itu. Justru rumah kayunya menjadi penanda tegas, bahwa tak semua seniman tergiur pesona kekuasaan. Dan di rumah itulah beragam cerita silih berganti. Baik cerita bertema bahagia, pilu, hingga janji-janji manis yang menguar ditiup angin laut pesisiran.




Popular post

Beranjak Dewasa dan Puisi Lainnya

Beranjak Dewasa dan Puisi Lainnya

Penulis: Mauliya Nandra Arif Fani Beranjak Dewasa Getaran waktu sudah merubah Garis hidupku menjadi me…

Lelaki Panggilan dan Perlawanan Simbolik

Tentang Tuan dan Puisi Lainnya

Keruntuhan Turki Usmani dan Dampaknya bagi Politik Timur Tengah

Rambut Gondrong dan Printilannya

Gratifikasi dan Institusionalisasi Lembaga Pengadilan

Revitalisasi Bela Negara dalam Menghadapi Globalisasi

Bawalah Aku Menuju Hari Senin Dalam Hidupmu dan Puisi Lainnya

Reoreintasi Islam Indonesia: Sebagai Agama Rahmat dan Pembebasan

Labels

bola
buku
cerpen
film
musik
nodus
puisi
rileks
translasi

© ‧ M E T A M O R F O S A. All rights reserved. Made with ♥ by Jago Desain