Bapa Jana: Maestro Tarling Cirebon
Tuesday, January 28, 2020
Edit
Penulis: Algo YP
Perlahan namanya mulai dikenal khalayak.
Media massa pun mulai melirik dia sebagai objek yang menarik untuk dikulik kehidupannya. Mulai dari surat kabar lokal hingga nasional, mulai mengangkat dia dari
berbagai sudut pandang. Hujan pujian sebentar deras sebentar reda,
sosoknya timbul tenggelam dalam ingatan, dan tidak terkecuali secuil omong kosong coretan ini.
Jika Robert Johnson menjual jiwanya pada setan, dan mampu menjadi legenda yang memperkenalkan keindahan delta blues lewat teknik gitarya, lain halnya dengan pria yang akrab disapa Bapa Jana. Bapa jana tidak pernah menjual apapun dan pada siapapun, sebab yang dia mengerti, bermain gitar itu bagian dari menyenangkan
diri, dan orang-orang di sekelilingnya.
Bapa Jana tak pandai bicara, kecuali pada kayu beresonan yang selama ini menemani lembar demi lembar sejarah kehidupannya. Terlahir di awal tahun 1940an, dari seorang ibu yang mahir bermacapat dan ayah yang lihai
berpencak silat, Bapa Jana justru memilih gitar sebagai hal yang ia tekuni.
Kegemarannya melihat sang nenek yang gandrung bermain kecapi, tanpa disadari telah membawa minatnya pada bebunyian. Bermodal melihat dan mendengarkan, Jana kecil
mulai menekuni gitar sebagai hobi barunya.
Pekalangan, sebuah wilayah di pesisir utara Kota Cirebon,
menjadi
saksi bagaimana Jana kecil tumbuh dan belajar ihwal kesenian daerah. Mulanya, sang kakak dan seorang warga keturunan bernama Bapa Barang yang mengenalkannya pada musik
daerah, yang biasa dikenal dengan sebutan tarling (gitar
suling).
Tarling sendiri bagian dari musik rakyat, yang membunyikan
suara dan keluh kesah masyarakat pesisiran melalui instrumen gitar dan suling. Seperti yang dituturkan Bapa Jana: "Para nayaga mencoba melepas lelah dan mengekspresikan kepenatan
mereka dengan memainkan sebuah alat musik bernama gitar." Mentransformasi bunyi gamelan ke dalam petikan gitar dan siulan suling bambu.
Bebunyian ini tumbuh menciptakan identitasnya sendiri. Merentang
dari Indramayu, Cirebon hingga Tegal, Pemalang dan Pekalongan.
Seiring berjalannya waktu, dimensi tarling berkembang baik dari segi teknis mapun formal. Secara teknis penambahan instrumen gendang, kecrek, sampai bunyi sendok pernah mengiringi dan menjadi bagian pementasan tarling.
Sedangkan dari sisi formalnya, tarling yang pada awalnya
hanya parade instrument yang dibunyikan, kemudian mewujud dalam
tembang-tembang bersyair, hingga ke
pementasan lakon-lakon sandiwara, yang kaya akan pesan moral dan
gelak tawa.
Seorang penembang tarling
kala itu, di
samping harus piawai melantunkan syair,
namun juga dituntut untuk
sanggup memainkan intrumen gitar dan mampu membawa alur grup
tarling saat pementasan berlangsung. Piawai dalam mendendangkan lirik yang penuh akan spontanitas:
keresahan pribadi, lelucon harian hingga sindiran-sindiran
terkait kondisi sosial yang ada. Dalam hal
ini, menurut saya, tarling tak jauh berbeda dengan delta
blues yang dilahirkan budak kulit hitam di Amerika.
Sinden pelopor seperti Jayana, Dariah, Hingga Kang Ato dan Adul Ajib akhirnya menjadi
ikon tersendiri di dunia tarling. Bintang panggung yang selalu ditunggu penampilannya. Konon legak-legok tarling yang bersifat naik turun, tak sembarang orang memiliki kemampuan tersebut.
Kini, sudah lebih dari setengah abad kesenian ini mencoba bertahan. Pementasan
tarling yang digelar dari hajatan ke hajatan, mengamen dari pasar ke pasar, membuat
kesenian musik ini seperti air yang mampu mengisi segala
ruang.
Kala konflik seni sebagai panglima, dan seni untuk seni tengah berkobar, beberapa sahabat memutuskan mengikuti arus dengan berada di pihak-pihak yang sesuai menurut mereka. Masih jelas dalam ingatan Bapa Jana, bagaimana sang istri seringkali mengomel kesal karena Bapa Jana tidak seperti sejawatnya, yang dekat dengan para pejabat di kota Cirebon.
Alasannya, menurut sang istri,
mengepulnya asap dapur tak lagi menjadi persoalan, andai saja Bapa Jana
menjalin kedekatan dengan para pejabat pemerintahan.
Namun Bapa Jana lebih memilih menjadi
kuli bangunan, menarik becak, atau menjadi penjaga dok di pelabuhan daripada menjadikan tarling sebagai cara mensiasati permasalahan
pedaringan.
Keteguhan Bapa Jana menyikapi
tarling, tidak serta merta membuatnya menjauh dari rekan sejawat. Meskipun
seniman tersebut berada di pihak sana ataupun sini.
Baginya, berkumpul dan bermain tarling bersama justru hal yang lebih indah, ketimbang harus meributkan perbedaan pandangan politik.
Bapa Jana mungkin bukan siapa-siapa, dan hanya bagian kecil dalam dunia tarling.
Namun paling tidak, beliau merupakan saksi dan pelaku yang telah menyaksikan
bagaimana kesenian ini tumbuh menjalar di pembuluh darahnya.
Di usianya yang memasuki kepala delapan, Bapa Jana lebih memilih rumah sebagai ruang yang meredam berbagai kebisingan dan omong kosong di sana-sini. Sebuah rumah kayu bambu khas Sumedang, yang konon
sengaja dia bawa langsung dari kampung halaman sang istri tercinta di sumedang.
Tak perlu mengambil kesimpulan terlalu jauh
terkait rumah bambu tersebut. Sebab seniman seleranya unik-lah. Atau cita rasa
seniman pastinya artistik-lah. Bapa Jana jauh dari semua kerumitan itu. Justru
rumah kayunya menjadi penanda tegas, bahwa tak semua seniman tergiur pesona
kekuasaan. Dan di rumah itulah beragam cerita silih berganti. Baik cerita bertema bahagia, pilu, hingga janji-janji manis yang menguar ditiup angin laut pesisiran.